Seremonial Kemerdekaan Kontekstual

Seremonial Kemerdekaan Kontekstual

Setiap perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia datang, warga seakan ada pada pucuk seremoni tahunan yang penuh gebyar. Bermacam lomba dan pertunjukan diadakan, bendera merah putih dan umbul-umbul bermacam warna terpasang, pintu gerbang dihias dengan beragam atribut, acara pesta sukuran diselenggarakan, disudahi upacara peringatan beberapa detik-detik proklamasi di lapangan.

Hal sama terus terjadi berkali-kali tiap tahun, tanpa redefinisi mencukupi mengenai arti kemerdekaan yang lebih kontekstual. HUT RI pada akhirnya sekedar kejadian temporal yang mudah lenyap gaungnya demikian serangkaian acara peringatan usai.

Pertanyaan penting yang perlu dijawab, apakah sudah beragam acara resmi itu menjawab ihwal penting berkaitan arti kemerdekaan utama, kemerdekaan yang betul-betul bisa dirasa semua warganegara, di saat ini?

Seremonial Kemerdekaan Kontekstual

Pertanyaan ini patut dikemukakan, karena kemerdekaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang berkembang dan dinamis. Kemerdekaan adalah perubahan kontekstual menuju kebaikan, yang nilai-nilainya senantiasa tumbuh secara berkelanjutan berdasarkan kebutuhan masyarakat masa kini.

Kegiatan seremonial tentu tak bisa dilarang, karena bagaimanapun, hal itu merupakan bentuk ekspresi kegembiraan masyarakat atas terbebasnya bangsa ini dari cengkeraman penjajah. Hanya saja, bangsa Indonesia tidak boleh berhenti pada seremoni, karena kemerdekaan yang berarti lepas dari penjajahan sudah dinikmati bangsa Indonesia sejak 64 tahun lalu.

Oleh karena itu, peringatan HUT RI seyogyanya lebih menukik pada upaya untuk memecahkan berbagai persoalan kontekstual yang dihadapi bangsa dewasa ini, yang tentu tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan menggelar berbagai lomba, berhias dan upacara.

Bangsa Indonesia memang telah terbebas dari kolonialisme, akan tetapi belum sepenuhnya terbebas dari aneka permasalahan yang dalam derajat tertentu mengurangi nikmat kemerdekaan yang seharusnya dikecap anak bangsa. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, keterbelakangan, terorisme, adalah contoh-contoh permasalahan yang masih membutuhkan penanganan serius, sehingga ke depan tidak mengganggu nikmat kemerdekaan yang telah berlangsung selama enam dekade ini.

Kemiskinan dan pengangguran misalnya, kendati dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan secara signifikan, namun masih menjadi masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini. Banyaknya warga yang tidak mampu secara ekonomi dan tidak memiliki penghasilan tetap, selain membuat daya beli rendah, juga mempengaruhi produktivitas bangsa.

Untuk mendongkrak itu semua, pemerintah harus menyediakan subsidi dalam jumlah besar. Ke depan, kemiskinan dan pengangguran harus dikurangi secara bertahap, sehingga beban pemerintah tidak terlalu berat.

Kebodohan dan keterbelakangan di lain sisi, adalah dua faktor yang menyebabkan sumber daya manusia Indonesia menjadi lemah. Kelemahan ini sudah barang tentu akan membuat kemampuan bangsa dalam mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah menjadi rendah.

Pada akhirnya, keadaan ini akan mempengaruhi daya saing bangsa di tingkat global. Pendidikan yang baik, murah dan terjangkau, dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk menggusur jauh-jauh kebodohan dan keterbelakangan dari bumi pertiwi.

Masih adanya terorisme, seperti teror bom akhir-akhir ini, sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan dunia terhadap negara Indonesia yang de facto sedang mengalami pertumbuhan ekonomi menakjubkan di tengah krisis ekonomi yang melanda dunia. Reputasi dan prestasi Indonesia di mata dunia menjadi rusak akibat ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, dimana dalam jangka panjang hal ini dapat berimbas negatif pada seluruh sektor kehidupan masyarakat.

Berbagai permasalahan di atas membutuhkan upaya penanggulangan yang terstruktur, terencana, dengan melibatkan seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama menghadapinya. Inilah musuh nyata yang harus dihadapi bangsa Indonesia saat ini, musuh yang membutuhkan penanganan lebih dari sekadar seremoni peringatan kebebasan bangsa dari penjajahan.

Berbagai acara seremonial dalam peringatan HUT RI tidak perlu dihapuskan, karena acara semacam itu tetap dibutuhkan. Sepanjang tidak melarutkan konsentrasi terhadap makna hakiki kemerdekaan kontekstual yang berupaya memecahkan permasalahan terkini, tidak jadi soal jika bangsa Indonesia bersuka cita barang sejenak.

Begitu seremoni usai, kembalikan peringatan HUT RI pada makna kemerdekaan kontekstual, yakni momentum untuk meneguhkan tekad melawan kemiskinan, pengangguran, kebodohan, keterbelakangan dan terorisme. Dengan demikian, peringatan HUT RI akan lebih bermakna karena mengusung tema yang lebih realistis dan nyata-nyata dibutuhkan masyarakat.

Tidak perlu menargetkan seluruh masalah dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun. Penyelesaian dapat digilir berdasarkan skala prioritas dan kebutuhan masyarakat. Misalnya, pada peringatan HUT RI tahun berikutnya kelak, Indonesia harus “merdeka” dari terorisme. HUT RI tahun berikutnya, 80% warganegara harus “merdeka” dari kemiskinan. Demikian seterusnya sampai seluruh agenda terselesaikan, dan digantikan dengan agenda baru yang disusun sesuai dinamika dalam masyarakat.

Jika agenda peringatan kemerdekaan secara kontekstual semacam ini dapat diwujudkan dalam praktek setiap tahun, dapat dipastikan seremoni peringatan HUT RI akan berjalan lebih semarak. Ada keberhasilan yang patut dibanggakan dan ditunjukkan kepada warganegara dan juga dunia, bahwa bangsa Indonesia tidak hanya mampu mensyukuri kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pahlawan, namun juga mampu mengisi kemerdekaan itu dengan kegiatan nyata yang memang dibutuhkan masyarakat.

 

Seremonial Kemerdekaan Kontekstual

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *