Masalah Gizi Bukan Hanya Tanggungjawab Perempuan

Masalah Gizi Bukan Hanya Tanggungjawab Perempuan

Sejak zaman prasejarah, urusan mengolah dan menyajikan makanan selalu dianggap sebagai ‘tugas’ perempuan. Hal tersebut tak lepas dari pandangan umum yang mendudukkan kaum laki-laki sebagai pemburu dan kaum perempuan sebagai peramu. Hingga kini, peran tradisional semacam itu pun masih langgeng, dimana urusan menyiapkan makanan masih sepenuhnya dibebankan kepada perempuan, khususnya para ibu.

Kendati sering dipandang remeh oleh kaum laki-laki, akan tetapi sesungguhnya kegiatan mengolah dan menyajikan makanan tidak semudah yang dibayangkan. Perlu pengetahuan memadai untuk mendeteksi bahan makanan apa yang enak dan memiliki kandungan gizi seimbang, sehingga menyehatkan badan bila dikonsumsi.

Masalah Gizi Bukan Hanya Tanggungjawab Perempuan

Sayang tidak semua perempuan memiliki pengetahuan paripurna tentang kandungan gizi bahan makanan. Banyak yang hanya tahu cara memasaknya, namun tidak terlalu paham apa manfaatnya bila dimakan. Hal tersebut di antaranya disebabkan oleh tingkat pendidikan perempuan yang rendah, serta kurangnya pengetahuan perempuan di bidang gizi.

Keadaan seperti yang disebutkan di atas tentu tidak kita harapkan, karena imbas dari pengolahan makanan yang serampangan akan berpengaruh langsung terhadap gizi keluarga, terutama anak-anak. Jika perempuan salah mengatur komposisi pada saat mengolah dan menyajikan makanan, maka anak bisa mengalami defisiensi atau kekurangan salah satu atau beberapa jenis zat yang dibutuhkan tubuh. Jika yang kurang adalah jenis makanan sumber energi dan protein, maka dalam jangka panjang dapat menyebabkan gejala kurang energi protein (KEP) yang merupakan pemicu terjadinya gizi buruk dan gizi kurang.

Ironisnya, karena yang dianggap ‘bertanggungjawab’ dalam pengolahan dan penyajian makanan adalah perempuan, saat terjadi kasus kekurangan gizi pada anak kesalahan cenderung ditimpakan kepada kaum perempuan. Padahal sejatinya terdapat banyak faktor yang menunjukkan bahwa kasus kekurangan gizi pun sering terjadi karena kesalahan laki-laki, misalnya karena kurangnya dukungan dana serta tidak adanya partisipasi aktif laki-laki dalam mengontrol asupan gizi anak-anak.

Di samping itu, budaya patriarki yang mengutamakan kepala keluarga dalam konsumsi, disadari maupun tidak, sering menyebabkan perempuan dan anak-anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan asupan makanan yang berkualitas.

Ke depan, pandangan bahwa pengolahan dan penyajian makanan adalah urusan perempuan hendaknya dibuang jauh-jauh. Selain tidak menguntungkan perempuan, juga berpotensi merugikan status gizi anak-anak karena kontrol tidak bisa dilakukan secara maksimal. Demikian pula kebiasaan mengutamakan laki-laki dalam kegiatan konsumsi hendaknya disingkirkan. Justru perempuanlah yang seharusnya didahulukan agar mendapatkan asupan  makanan yang bergizi, karena perempuan yang sehat akan menghasilkan air susu yang sehat, yang merupakan makanan utama bagi generasi mendatang.

Pencegahan gizi kurang dan gizi buruk memang juga harus dilakukan dengan mengembangkan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ini dimulai dari unit fungsional dan interaksi yang terkecil, yaitu keluarga. Hidangan sehari-hari di keluarga menunjukkan kualitas gizi yang dibutuhkan tubuh dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Bila susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas, maka kebutuhan gizi tubuh akan terpenuhi.

Keluarga yang demokratis tentu akan mengembangkan pemahaman tumbuh kembang seorang anak dan terpenuhinya kebutuhan gizi keluarga adalah tanggung jawab seluruh keluarga, terutama ibu dan bapak. Bapak sebagai pencari nafkah utama tidak bisa melepas tanggung jawab, menyerahkan sepenuhnya pengasuhan anak kepada ibu (istri). Apalagi, jika sebagian istri ternyata juga berkarier sebagai pekerja.

Kita menyadari perempuan di seluruh dunia memainkan peran ganda, yakni sebagai ibu, pengatur rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, produsen dan kontributor penghasilan keluarga, dan pengatur organisasi kemasyarakatan yang berdampak pada kesejahteraan sosial.

Inilah yang dikenal sebagai empat peran perempuan. Seiring dengan konsep kesetaraan gender, laki-laki perlu diberi tanggung jawab lebih besar dalam upaya meningkatkan status gizi keluarga. Laki-laki tidak lagi pasif menerima makanan matang yang telah diolah istri, akan tetapi harus pula terlibat dalam proses pembelian, pemilihan, pengolahan dan penyajian bahan makanan, agar sesuai dengan kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga. Dengan cara tersebut, kasus kekurangan gizi dapat dihindari.

Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, bisakah kaum laki-laki menempatkan diri sendiri untuk memainkan peran aktif dalam kegiatan konsumsi? Tidak mudah memang, karena selama ini laki-laki menjadi pihak yang dilayani. Namun demi kebaikan bersama, tidak ada salahnya para lelaki mencoba mulai saat ini juga.

 

Masalah Gizi Bukan Hanya Tanggungjawab Perempuan

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *