Dari prahara santet yang berulang di tanah Blambangan, satu hal yang bisa dipastikan adalah bahwa kerugian besar yang kita peroleh dari pembasmian ‘dukun santet’ yang dilakukan secara ilegal—sehingga menimbulkan korban yang tidak bersalah—adalah musnahnya budaya menghargai pluralisme. Padahal tanpa kemampuan menghargai pluralisme, pada hakekatnya sebagai bangsa kita telah hancur.
Buku Geger Santet Banyuwangi
Jenis Bahan | Monograf |
Judul | Geger Santet Banyuwangi |
Judul Asli | Geger Santet Banyuwangi |
Pengarang | Veven Sp. Wardhana Imam Sumaatmaja Abdul Manan |
Penerbitan | Jakarta : Institut Studi Arus Informasi (ISAI), 2001 |
Deskripsi Fisik | iii,109 hlm. : ilus. ; 21 cm. |
ISBN | 9798933303 |
Bahasa | Indonesia |
Bentuk Karya | Tidak ada kode yang sesuai |
Pada tahun 1998, Sejumlah 174 orang (versi Kompak, Komunitas Pencari Keadilan, sebuah tim pencari fakta dari Surabaya) dibantai di kawasan Banyuwangi, Jawa Timur. Korban adalah orang yang dituduh sebagai dukun santet, yang realitas sehari-hari adalah ulama, guru mengaji, atau pengelola pondok pengajian.
Santet: Potret Perih Pewaris Tanah Blambangan
Banyuwangi, 23 September 1998. Seperti malam-malam sebelumnya, Rabu malam itu Mateha tampak bermalas-malasan mencari angin di beranda rumah kediamannya. Mateha adalah seorang kakek uzur, berumur 84 tahun. Badannya yang kerempeng sudah tampak mulai mengerut. Namun belum lagi puas berleha-leha, dua buah truk colt diesel bermuatan puluhan orang tiba-tiba parkir di depan rumahnya. Tanpa basa-basi mereka langsung menyerbu kakek renta itu. Sambil berlompatan turun, orang-orang itu berteriak-teriak kencang, “Bunuh dukun santet itu! Bunuh dukun santet itu!” sembari mengacung-acungkan senjata tajam, balok kayu dan tangan kosong. Mateha gemetar. Lututnya lemas. Ia hanya bisa pasrah menerima pukulan yang bertubi-tubi menghunjam ke badannya. Setelah puas memukuli, rombongan itu lalu membopong tubuh kurus Mateha ke atas truk. Keluarganya tak bisa mencegah. Mereka sangat ketakutan melihat keganasan massa itu. Beberapa saat kemudian truk melesat meninggalkan Dusun Pancoran, Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Siapakah orang-orang asing itu?
Mereka adalah para pemuda berasal dari desa tetangga, Desa Licin. Kabarnya para penyerang itu sengaja diupah untuk menghabisi Mateha. Otak pelaku aksi tersebut, diduga, Arba’i dan Misadi, yang tinggal sedusun dengan Mateha. Bahkan Misadi terhitung keponakan Mateha. Kepada wartawan, Arba’i dan Misadi mengaku sudah lama menaruh dendam kesumat kepada Mateha. Pakdenya itu, diyakini Misadi, telah menyantet ayahnya hingga menemui ajal beberapa waktu lalu. Istrinya pun bernasib sama. Motif Arba’i sekali tiga uang. Ia berkeyakinan ayahnya meninggal beberapa tahun lalu lantaran disantet Mateha. Dua putranya pun mengalami nasib serupa. Keduanya tewas setelah seluruh wajahnya dijangkiti penyakit kudis, sehingga wujudnya menyeramkan. Menurut orang pintar yang ditemuinya, penyakit itu lantararan disantet Mateha. Sampai akhirnya momen yang ditunggu tiba. Tanpa diduga, sejak beberapa bulan terakhir “musim” aksi pembantaian dukun santet melanda hampir seluruh Banyuwangi. Mereka lantas mengikuti ‘tren’. Singkat kisah, ia mendatangi para pemuda Desa Licin seraya melempar isu: Mateha dukun santet yang telah membinasakan banyak orang. Berhasil. Sebelum berangkat ke sasaran, para pemuda itu ditraktir minum-minuman keras, di sebuah kedai. Tak lama, mereka naik dua truk sewaan Arbai. Lantas pemuda itu diberi uang rata-rata Rp 15.000. Setelah itu mereka beraksi, sampai akhirnya berhasil menciduk Mateha. Sepanjang perjalanan, Mateha disiksa. Setelah yakin bahwa si tukang santet renta itu telah tewas, bersamaan dengan saat truk melintas di daerah persawahan sekitar kawasan Kampung Giri, Mateha langsung dilemparkan ke tengah sawah. Ia terkapar di bibir hamparan persawahan. Rupanya, Mateha Cuma pingsan. Tak ada luka serius. Bersamaan kokok ayam jantan di keremangan kabut subuh, Mateha terjaga. Ia mengerang, dan perlahan-lahan bangkit. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berjalan pulang ke kediamannya.
Kepulangan Mateha membuat bungah keluarganya. Namun sebaliknya, kabar itu malah menggegerkan orang sekampung. Isu cepat menyebar: sang dukun santet masih gentayangan. Yang paling terkejut, siapa lagi kalau bukan Arbai dan Misadi. Bukankah orang yang sangat mereka benci itu sudah dibunuh semalam? Emosi keduanya makin bergejolak. Mereka pun kembali mengompori warga desa Banjarsari. Lucunya, Mateha malah cuek. Entah lantaran pikun atau apa, kebiasaan bersantai di beranda muka pun masih terus dilakoninya. Seperti sehari setelah kejadian, malam Jum’at, sekitar pukul 22.00, Mateha yang dianggap sebagian warga sebagai dukun santet, disatroni puluhan penduduk yang menghujatnya. “Bunuh dukun santet! Bunuh dukun santet!”
Mateha tersadar, bahaya mengancam. “Saya pasrah, walau pun jantung terasa mau copot,” kenangnya. Sukurlah, Lurah Banjarsari, Adiyat segera datang melerai sebelum penganiayaan terulang. “Mereka menuntut Mateha diusir dari dusun,” kisah Adiyat. Akhirnya Adiyat mengungsikan Mateha ke kantor Koramil Glagah. Aman? Belum! Kebencian Arbai dan Misadi masih mengintai. Mateha harus mati. Apalagi, aku keduanya, mereka kadung menerima uang dari beberapa janda di desanya untuk menghabisi Mateha, yang diyakini telah menyantet suami mereka.
Siasat pun kembali diatur. Mereka menambah tenaga. Keduanya merekrut Kacung yang dikenal memiliki reputasi buruk di Banjarsari. Ia residivis, dan pernah terlibat kasus pembunuhan beberapa waktu lalu. Kacung merekrut temannya Mislami. Mereka sepakat akan mengambil Mateha di Koramil Glagah. Caranya Misadi akan berpura-pura mengamankan Mateha ke saudaranya di Desa Donosuko. Karena selama ini Mateha belum tahu niat jahatnya.
Hari-H pun tiba. Rabu (30/9) sore, sekitar pukul 17.00, Misadi, Arbai, Mislami dan Kacung terlihat melesat dengan mobil colt ke arah kantor Koramil Glagah. Setibanya di sana, mereka menemui penjaga piket, Sertu Slamet. “Pak, Pak Mateha mau diambil keluarganya,” ujar Kacung kepada Slamet. Slamet mengeluarkan Mateha. Begitu melihat keponakannya, Mateha sontak bertanya, “Ingsun iki arep ira gawa neng ngendi (aku ini mau dibawa kemana)?” setelah dijelaskan akan diamankan, Mateha manut. Mereka pun pergi menuju Desa Donosuko. Misadi menyetir. Di bangku belakang, Mateha duduk diapit Arbai, Mislami dan Kacung.
Di tengah perjalanan, di perbatasan Rejosari, yang membelah dua hamparan persawahan yang gelap dan sepi, Misadi menghentikan kendaraan. Tiba-tiba ia perintahkan pamannya turun. Mateha menurut. Belum lagi sadar apa yang bakal terjadi, mereka mengikat lengannya dengan tali. Lalu mereka memukuli Mateha sepuasnya. “Saya kaget. Saya salah apa, kok dipukuli. Wong saya nggak punya utang sama mereka,” keluh Mateha. “Pernah nyakitin juga nggak”. Tak ada ampun. Leher Mateha dijerat tali dan ditarik sekuat tenaga. Lainnya terus menghujani pukulan. Setelah itu Mateha roboh ke Lumpur. “Setelah itu saya suruh mereka pergi. Tinggalkan saya dan Mateha,” cerita Kacung. Kacung melakukan eksekusi terakhir. Dicekalnya leher Mateha yang peot itu. Kemudian dibanting ke kanan-kiri. Terakhir ia benamkan wajah Mateha ke dalam Lumpur. “Setelah dia nggak napas, saya pulang naik ojek,” kisah Kacung polos, tanpa merasa berdosa.
Mateha sendiri sudah merasa dirinya mati. “Saya mati,” ujarnya. Tetapi nyatanya tidak. Ia tak sadarkan diri. Begitu sadar ia langsung bangun. Matahari mulai menyembul di ufuk timur. Mateha tertatih-tertatih berjalan pulang dengan wajah memar. Di tengah jalan, ia bertemu seorang polisi, yang kemudian menitipkannya ke balai desa. Kepada Adiyat, polisi itu berkata seperti ditirukan Mateha, “Tak amanna dhisik wong iki (Saya amankan dulu orang ini),” Dari kesaksian Mateha polisi lalu menciduk Kacung, Misadi, Arbai dan Mislami. Status Mateha adalah korban yang dilindungi. Kepada wartawan ia sendiri mengaku takjub akan nasibnya. Tetapi, ia sempat berkata lirih, “Saya malas nggak mati-mati.” Kemudian ia pun terkekeh-kekeh.
Kisah Mateha bukanlah fiksi. Seperti dilaporkan Majalah Tajuk (lihat Majalah Tajuk, No. 17, 1-15 Oktober 1998) ia adalah salah satu saksi (korban) hidup dalam “Geger Tukang Santet” yang merambah hampir seluruh daerah tapal kuda di Jawa Timur, mengiringi runtuhnya kekuasaan Soeharto di Jakarta pada tahun 1998. Saat itu eskalasi teror dan pembunuhan sudah meluas hampir di seluruh wilayah Jawa Timur. Terhitung ratusan korban berjatuhan dengan fitnah sebagai ‘dukun santet’. Selain Banyuwangi, yang cukup besar korbannya adalah di Jember, Situbondo, Probolinggo, Bondowoso, Pasuruan, Bangil, Blitar, dan beberapa daerah di Madura seperti Pamekasan, dan Sumenep. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU menyebut insiden tersebut sebagai “Operasi Naga Hijau” yang hendak menghancurkan kekuatan NU.
Entah apa hubungan antara kepentingan Misadi dan Arbai Cs (yang memiliki dendam pribadi) dengan kepentingan para pelaku “Operasi Naga Hijau” yang disebut-sebut Gus Dur itu. Tetapi yang tertangkap oleh publik (seperti yang digambarkan berbagai media massa) di Indonesia saat itu adalah bahwa ABRI sedang bermusuhan dengan NU. Maka tak heran bila kemudian untuk mengatasi masalah tersebut ABRI bekerjasama dengan NU menggelar apel akbar di Parkir Timur Senayan, Minggu 11 Oktober 1998. Dalam formasi yang cukup lengkap para pimpinan kedua institusi besar itu hadir dalam perhelatan akbar ini. Tak pelak, apel yang dihadiri belasan ribu nahdliyyin itu tampak seperti hendak menghapus kesan bahwa sedang ada “sesuatu” diantara NU dan ABRI. Meski yang kemudian tertangkap justru gambaran yang sebaliknya. Itulah bingkai besar (politik nasional) yang melatari pembantaian ratusan ‘dukun santet’ di Banyuwangi Jawa Timur. Perseteruan boleh jadi terjadi di Jakarta. Tetapi korbannya bisa mengambil rakyat dimana saja. Dan Misadi dan Arbai pun, hingga sekarang tak juga paham, apa hubungan tindak kekerasan yang dilakukannya terhadap Mateha dengan Apel Akbar NU-ABRI di Jakarta. Miftahuddin / Desantara
(sumber: https://desantara.or.id)